Assalamualaikum Wr. Wb. Selamat datang dan terima kasih karena sudah mampir pada website ini.
9 Maret 2023
Wacana untuk pemberantasan korupsi, gaungnya sudah didengar sejak lima puluhan tahun yang lalu. Gaung ini semakin kuat dibunyikan oleh Presiden Soeharto ketika ingin membersihkan korupsi yang terjadi dizaman pemerintahan Presiden Soekarno. Demikianlah secara terus menerus dilanjutkan oleh Habibi, Abdur Rahman Wahid, Megawati, SBY dan kini oleh Presiden Jokowi.
Secara formal, sesungguhnya sistim untuk pemberantasan korupsi di Indoneisia, sudah cukup dan tertata secara sistemik. Kendala utama yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi selama ini terletak pada dua masalah yaitu:
Dari mana memulai?, dan
Siapa yang akan meberantas Siapa?.
Korupsi di Indonesia tak ubahnya sebagai lingkaran setan
Kalau kita bicara soal korupsi di Indonesia sulit untuk diidentifikasi, sebab pelaksanaan korupsi ini telah merambat keseluruh lini. Mulai dari lini puncak hingga ke lini yang paling rendah. Kalau kita mau berkata jujur, kita harus mengakui bahwa, benih-benih korupsi itu telah bersemai didalam jiwa kita secara keseluruhan. Yang menjadi persoalannya adalah, apakah benih-benih korupsi itu akan tumbuh pada setiap diri kita atau tidak. Hal ini tergantung pada beberapa faktor, antara lain, ahlak, keimanan, peluang dan kesempatan.
Sebagai ilustrasi sederhana, pengrusan izin usaha hingga mendapatkan pekerjaan pada perusahaan kontraktor. Untuk mendirikan sebuah perusahaan, dimulai dari pengurusan KTP dan perizinan ditingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi hinga ke pusat.
Secara formal, biaya pengurusan pada setiap jenjang tersebut telah ditentukan jumlahnya. Disetiap pintu kantorpun diumumkan, bahwa “dalam segala urusan tidak dipungut biaya kecuali sejemlah yang telah ditetapkan dalam peraturan”. Akan tetapi, apabila ketentuan formal tersebut di ikuti, maka yakinlah bahwa pengurusan izin yang diperlukan akan memakan waktu yang lama kalau tidak boleh disebut dengan “tidak akan selesai”.
Demikian pula halnya untuk mendapatkan pekerjaan. Disamping masalah perizinan, ditambah lagi dengan pernik-pernik dalam pelaksanaan tender. Kerumitan dinamika dalam masalah tender hingga penetapan pemenang tender akan dipengaruhi oleh batasan kewenangan untuk menentukan pemenangnya. Andaikata proyeknya besar dan berskala nasional, maka akan berlaku segala pernik-pernik tersebut secara berantai mulai dari lini yang paling rendah hingga ke lini pengambil keputusan yang terakhir. Ya, mungkin saja dari pengelola pelaksanaan administras tender, pimpinan proyek, bos hingga bos yang paling tinggi yang terkait dengan proyek tersebut. Dari ilustrasi sederhana ini, ketika kita bicara pemberantasan korupsi, timbul sebuah pertanyaan, dari lini manakah kita akan memulai?
Siapa membersihkan Siapa?
Untuk menyikapi keinginan Presiden dalam memberantas korupsi, sebuah dilema yang belum terpecahkan, yaitu siapa orang yang akan ditugaskan untuk membersihkan korupsi tersebut. Sebagaimana yang diutarakan sebelumnya, kalau kita jujur, hampir pada seluruh jiwa kita, benih-benih korupsi telah bersemai. Namun, kita juga tidak perlu pesimis sebab, meskipun indikatornya sedemikian buruk, pasti masih ada orang-orang yang layak untuk ditugaskan walaupun orang-orang seperti ini jumlahnya sangat sedikit.
Kita semua tentu sepakat, apabila ingin membersihkan kotoran, alat yang digunakan harus tidak kotor. Alangkah lucunya, andaikata untuk membersihkan rumah digunakan juga sapu yang kotor.
Memang untuk memilih orang-orang yang pantas untuk membersihkan korupsi ini ini tidak mudah, tidak semudah membuatkan Surat Keputusan seperti yang sudah terjadi selama ini. (misalnya SK team KPK). Indikator untuk orang-orang yang tidak layak, mudah diidentifikasi.
Sebagai contoh sederhana, misalnya seorang aparat yang telah berdinas di negara ini selama 30 tahun. Katakanlah gajinya Rp. 20,000,000.00 per bulan. Akumulasi gaji yang diperolehnya selama bertugas adalah 30 x Rp. 240,000,000.00 = Rp.7,200,000,000.00 dengan catatan uang gaji tersebut tidak pernah digunakan untuk membeli gula dan kopi. Andaikata selama 30 tahun tersebut ada yang digunakan untuk membeli gula dan kopi maka, jumlah gaji yang terkumpul tidak cukup lagi Rp. 7,200,000,000.00.
Kenyataan dalam hidup kita, selama 30 tahun bertugas, kita perlu makan, minum, biaya pendidikan anak, buat rumah, beli kenderaan, biaya listrik dan telepon, sumbangan, dan lain sebagainya, sehingga uang Rp. 7,200,000,000.00 tidak utuh lagi pada akhir tahun ke 30.
Bayangkan kalau gaji pegawai negeri yang telah bertugas selama 30 tahun dengan golongan IV, gajinya tidak lebih dari Rp. 3,000,000.00 per bulan. Mungkinkah pada akhir tahun ke 30 memiliki uang bermilyaran rupiah?, mungkinkah memiliki mobil mewah lebih dari satu?, mungkinkah?, mungkinkah? mungkinkah? mungkinkah?. Mungkin, apabila aparat tersebut memiliki sebuah profesi yang dimanfaatkannya diluar jam dinasnya, seperti dokter, akuntan, pengacara, notaris atau mengapling tanah kemudian dijual secara kredit.
Ok., kita asumsikanlah aparat tersebut membeli tanah entah di kota atau di hutan. 30 tahun kemudian nilainya naik berlipat sampai 100 kali. Tapi perlu disadari, kalau seandainya tanah tersebut tidak dijual, aparat yang bersangkutan juga tidak akan mampu memiliki rumah mewah dan kenderaan mewah lebih dari satu.
Bagaimana untuk menentukan “SIAPA?”
Agaknya hal menjadi persoalan dan dilema. Namun kalau ada niat untuk mencari “Siapa orang yang pantas”, kita harus meminta informasi kepada masyarakat bawah yang hidupnya sudah pasrah, hanya untuk memikirkan makan dan minum sampai keliang kubur. Biarkan mereka memberikan penilaian dan menentukan nama secara independen.
Selama ini, masyarakat bawah sering menjadi kenderaan dan korban elit politik. Dalam permainan politik, masyarakat bawahpun diajarkan tehnik penyalahan gunaan dan korupsi. Mereka dibujuk dengan baju kaus, pangan sesaat, dan entah apa lagi.
Dana taktis rawan di korupsi
Kebiasaan buruk selama ini di negara kita ini adalah “dana taktis pejabat”. Istilah dana taktis ini harus dihapus. Semua pengeluaran dan penerimaan harus dimasukan kedalam anggaran (APBN, APBD). Semua pengeluaran, otoritasnya tidak mutlak harus diberikan kepada pejabat dengan senjata “kebijaksanaan pejabat”.
Untuk mengatasi agar jangan terjadi kendala dalam pemanfaat anggaran belanja, maka dituntut kepada aparat pejabat dan anggota legislatif orang yang memilki ahlak mulia serta yang paham dan mampu untuk menyusun anggaran. Jenis anggaran pengeluaran yang digunakan harus “performance budget”. (Anggaran yang berbasiskan kinerja)
Muncul agaknya pertanyaan, apakah mungkin sistim anggaran yang semacam ini akan mampu untuk menjawab masalah yang diluar prediksi manusia, seperti kasus trsunami di Aceh, gempa bumi di Nabire dan Nias, Gunung api meletus, waduk pecah dan lain sebagainya?. Penulis yakin, apabila terjadi hal yang semacam ini “mampu diawab”, dengan catatan aparat yang menyusun anggaran (pemerintah dan anggota legislatif) haruslah orang yang memiliki wacana dan ilmu pengetahuan yang luas (bukan memadai) serta ahlak yang mulia. Kemampuan serta keahlian seseorang, tidak hanya ditentukan oleh prediket gelar yang dimilikinya.
Kenyataan selama ini “dana taktis” dapat diartikan sebagai dana yang tidak perlu dipertanggung jawabkan (tak), dan sering ditilap sendiri (tis). (sendiri dalam artian yang luas,dapat bearti pribadi pejabat ataupun kelompok) . Andaikata, dana taktis ini tidak dihilangkan, maka tak usahlah kita bicara pemerintahan yang bersih (good government).
Perlukah "pemutihan"?
Agaknya pertanyaan ini merupakan sebuah istilah yang mengejutkan. Namun menurut penulis, kita harus membuat pisah batas yang konkrit (cutoff). Tanpa pisah batas yang jelas, mungkin harapan untuk menuju pemerintahan yang bersih, akan tetap tinggal menjadi sebuah harapan, dan hanya menjadi bahan orasi dan kampanye murahan.
Pemutihan yang penulis usulkan dapat dilakukan dengan cara dan kalkulasi sebagai berikut. Setiap aparat pemerintahan (termasuk anggota legislatif dan yudikatif), dihitung kekayaan yang wajar dari penghasilan jabatannya selama dia mengabdikan diri untuk kepentingan negara dan masyarakat. Kelebihan dari kekayaan yang dimiliki dengan kekayaan yang wajar, harus dikembalikan kepada negara.
Misalnya, seseorang menjadi anggota DPRD. Penghasilan 1 bulan termasuk dengan tunjangan-tunjangan misalkan Rp. 30,000,000.00*). Lama menjadi anggota DPRD 5 tahun. Katakanlah kebutuhan makan minum, pakaian, biaya transportasi, kesehatan dan pendidikan anak-anak selama bertugas ditanggung sehingga seluruhan penghasilan selama menjadi anggota DPRD seluruhnya ditabung. Kekayaan yang wajar selama dia menjadi anggota DPRD adalah Rp.30,000,000.00 x 12 x 5 = Rp. 1.800,000,000.00.
Kekayaan aktual setelah dia menjadi anggota DPRD. Misalkan mereka punya: (1) tanah perumahan Rp. 200,000,000, (2) rumah dengan isinya Rp. 1.500,000,000.00, (3) mobil Mazda CX-3 Pro Rp. 350,000,000.00, (4) Toyota Rush Rp. 185,000,000.00 , (5) Dua unit motor Yamaha NMax Rp.22,000,000.00 (6) uang tunai Rp. 250,000,000.00. Total kekayaan keseluruhan berjumlah Rp. 2,507,000,000.00. Perbedaan antara total kekayaan yang wajar dari penghasilan selama menjadi anggota DPRD dengan total kekayaan aktual (Rp. 2,507,000,000.00 – Rp. 1.800,000,000.00) Rp. 707,000,000.00 dikembalikan kepada negara. Pemutihan ini dilakukan untuk seluruh pejabat dan pegawai di Indonesia, mulai dari Presiden hingga RT, Ketua DPR hingga anggota DPRD Kota/Kabupaten, pejabat yudikatif, Pendidik. Setelah pemutihan ini dilakukan, maka barulah tindakan pemberantasan korupsi di effektifkan. Kalau tidak, akan terjadilah nanti “Jeruk makan jeruk”
Note :
Bayangkan kalau gaji hanya Rp.10,000,000.00 atau dibawahnya, mungkinkah seorang pegawai memiliki kekayaan bermilyaran Rupiah?
@ Alm. H. M. Djamil Lunin & Nasrullah Djamil